Sejarah Pemikiran Ekonomi dalam Islam


Kontribusi kaum muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan pradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Buku-buku teks ekonomi Barat hampir tidak pernah menyebutkan peranan kaum mislimin. Menurut Chapra, meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum Muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.

Para sejarawan barat telah menulis sejarah ekonomi dalam sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif. Sebagai contoh, sejarawan sekaligus ekonom terkemuka, Joseph Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum Muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M).

Adalah hal yang sangat sulit dipahami mengapa para ilmuan Barat tidak menyadari bahwa sejarah pengetahuan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, yang dibangun di atas fondasi yang diletakkan para ilmuwan generasi sebelumnya. Jika proses evolusi ini didasari dengan sepenuhnya, menurut Chapra, Schumpeter mungkin tidak mengasumsikan adanya kesenjangan yang besar selama 500 tahun, tetapi mencoba menemukan fondasi di atas mana para ilmuwan Skolastik dan Barat mendirikan bangunan intelektual mereka.

Sebaliknya, meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum Muslimin tidak lupa mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India, dan China. Hal ini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendikiawan Muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Sejalan dengan ajaran Islam tenteng pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits nabi, konsep dan teori ekonomi dalam Islam pada hakikatnya merupakan respon para cendikiawan Muslim terhadap berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.

Berbagai praktik dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah Saw. dan al-Khulafa al-Rasyidun merupakan contoh empiris yang dijadikan pijakan bagi para cendikiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, dan kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.

Berkenaan dengan hal tersebut, Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tiga fase, yaitu: fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi, sebagai berikut:

Fase Pertama
Fase pertama merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyah atau abad ke-11 Masehi yang dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para fukaha, diikuti oleh sufi dan kemudian oleh filosof. Pada awalnya, pemikiran mereka berasal dari orang yang berbeda, kemudian dikemudian hari, para ahli harus mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut. Fokus fiqih adalah apa yang diturunkan oleh syariah dan, dalam konteks ini, para fukaha mendiskusikan fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbaaas pada penggambaran dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu pada Al-qur’an dan Hadits nabi, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah (disutility) yang terkait dengan ktivitas ekonomi. Pemikiran yang timbul terfokus pada apa manaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan sesuatuyang dilarang agama. Pemaparan ekonomi para fukaha tersebut mayoritas bersifat normatif dengan wawasan positif ketika berbicara tentang perilaku yang adil, kebijakan yang baik, dan batasan-batasan yang diperbolehkan dalam kaitannya dengan permasalahan dunia.

Sedangkan kontribusi utama tasawuf terhadap pemikiran ekkonomi adalah pada keajegannya dalam mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, tidak rakus dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah Swt., dan secara tetap menolak penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi. Sementara itu, filosof Muslim, dengan tetap berasaskan syariah dalam keseluruhan pemikirannya, mengikuti para pedahulunya dari Yunani, terutama Aristoteles (322-367 SM), yang fokus pembahasannya tertuju pada sa’adah (kebahagiaan) dalam arti luas. Pendekatannya global dan rasional serta metodologinya syarat dengan analisis ekonomi positif dan cenderung makro ekonomi. Hal ini berbeda dengan para fukaha yang terfokus perhatiannya pada masalah-masalah mikro ekonomi. 

           Fase Kedua
Fase   Fase kedua yang dimulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi dikenal sebagai fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendikiawan Muslim pada masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits nabi. Pada saat yang bersamaan, di sisi lain, mereka menghadapai realitas politik yang ditandai oleh dua hal: pertama, disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dan terbaginya kerajaan kedalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan (power) ketimbang kehendak rakyat; kedua, merebaknya korupsi dikalangan para penguasa diiringi dengan dekadensi moral dikalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin. Pada masa ini, wilayah kekuasaan Islamyang terbentang dari Maroko dan Spanyol di Barat hingga India di Timur telah melahirkan berbagai pusat kegiatan intelektual. 
                     
                       Fase Ketiga
Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi merupakan fase tertutupnya pintu ijtihad (independent judgement) yang mengakibatkan fase ini dikenal juga sebagai fase stagnasi. Pada fase ini, para fukaha hanya menulis catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi masing-masing madzhab. Namun demikian, terdapat sebuah gerakan pembaharu selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits nabi sebagai sumber pedoman hidup.

Referensi:
  • Baqir al-Hasani dan Abbas Makhor (ed.), Essays on Iqtisad: The Islamic Approach to Economic Problems, USA: Nur Corporation, 1989.
  • Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali, Readings In Islamic Economic Thought, Selangor Darul Ehsan: Longman Malaysia,1992.

Islam Sebagai Sistem Hidup (Way Of Life)

Dalam islam, prinsip utama dalam kehidupan umat manusia adalah Allah SWT. merupakan Zat Yang Maha Esa. Ia adalah satu-satunya Tuhan dan Pencipta seluruh alam semesta, sekaligus pemilik, Penguasa serta Pemelihara Tunggal hidup dan kehidupan seluruh makhluk yang tiada bandingan dan tandingan, baik di dunia maupun di akhirat. Ia adalah Subbuhun dan Quddusun, yakni bebas dari segala kekurangan, kesalahan, kelemahan, dan berbagai kepincangan lainnya, serta suci dan bersih dalam segala hal.

Sementara itu, manusia merupakan makhluk Allah Swt. yang diciptakan dalam bentuk yang paling baik sesuai dengan hakikat wujud manusia dalam kehidupan di dunia, yakni melaksanakan tugas kekhalifahan dalam kerangka pengabdian kepada Sang Mahapencipta, Allah Swt. sebagai khalifahnya dimuka bumi, manusia diberi amanah untuk memberdayakan seisi alam raya dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan seluruh makhluk. Berkaitan dengan ruang lingkup tugas-tugas khalifah ini, Allah Swt. berfirman:

“Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi ini, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar”. (QS. Al-Hajj: 41)

Ayat tersebut menyatakan bahwa mendirikan shalat merupakan refleksi hubungan yang baik dengan Allah Swt., menunaikan merupakan refleksi dari keharmonisan hubungan dengan sesama manusia, sedangkan ma’ruf berkaitan dengan segala sesuatu yang dianggap baik oleh agama, akal, serta budaya, dan munkar adalah sebaliknya. Dengan demikian, sebagai khalifah Allah di muka bumi, manusia mempunyai kewajiban untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan masyarakatnya harmonis serta agama, akal, dan budayanya terpelihara.

Untuk mencapai tujuan suci tersebut, Allah Swt. menurunkan Al-Qur’an sebagai hidayah yang meliputi berbagai persoalan aqidah, syari’ah dan akhlak demi kebahagiaan hidup seluruh umat manusia di dunia dan akhirat. Berbeda halnya dengan akidah dan akhlak yang merupakan dua komponen ajaran Islam yang bersifat konstan, tidak mengalami perubahan apapun seiring dengan perbedaan tempat dan waktu, syariah senantiasa berubahsesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban umat. Allah Swt. berfirman:
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang”. (QS. Al-Maidah: 48)

Sebagai penyempurna risalah-risalah agama terdahulu, Islam memiliki syariah yang sangat istimewa, yakni bersifat komprehensif dan universal. Komprehensif berarti syariah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah), sedangkan universal berarti syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai Yaum al-Hisab nanti. Firman Allah Swt.:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya:107)

Dalam pada itu, Al-Qur’an tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang syariah yang dalam sistematika hukum Islam terbagi menjadi dua bidang, yakni ibadah (ritual) dan muamalah (sosial). Hal ini menunjukan bahwa Al-Qur’an hanya mengandung prinsip-prinsip umum bagi berbagai masalah hukum dalam Islam, terutama sekali yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat muamalah.

Bertitik tolak dari prinsip tersebut, Nabi Muhammad Saw. menjelaskan melalui berbagai haditsnya. Dalam kerangka yang sama dengan Al-Qur’an, mayoritas hadits Nabi tersebut juga tidak bersifat absolut, terutama yang berkaitan dengan muamalah. Dengan kata lain, kedua sumber utama hukum Islam ini hanya memberikan berbagai prinsip dasar yang harus dipegang oleh umat manusia selama menjalani kehidupan di dunia. Adapun untuk merespon perputaran zaman dan mengatur kehidupan duniawi manusia secara terperinci, Allah Swt. menganugerahi akal pikiran kepada manusia. Dalam hal ini Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Kamu lebih mengetahui urusan keduniaanmu”. (HR. Muslim).

Referensi
  • M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1994.
  • M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999.
  • Harun Nasution, Akad dan Wahyu dalam Islam, jakarta: UI Press, 1986.

Hak Cipta (Copy Rights)


Menurut Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dinyatakan bahwa:
“Hak cipta adalah hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi ijin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” ((Pasal 1 ayat 1).

Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi (Pasal 1 ayat 2). Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau sastra (pasal 1 ayat 3).

Hak cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan.

A.      Tujuan Hak Cipta
Hak cipta berfungsi sebagai hak eksklusif  bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang  timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 2 ayat 1). Hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya. Khusus untuk pencipta dan/atau pemegang hak cipta atas karya sinematografi dan program komputer, memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial (pasal 2 ayat 2).

Sifat hak cipta dianggap sebagai benda bergerak. Hak cipta dapat beralih atau dialihka, baik seluruhnya maupun sebagian karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, dan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Hak cipta yang dimiliki oleh pencipta dapat menjadi milik ahli warisnya atau lainnya setelah penciptanya meninggal dunia. Beralihnya hak cipta tidak dapat dilakukan secara lisan, tetapi harus dilakukan secara tertulis baik dengan maupun tanpa akta notaris.

Berdasarkan fungsi dan sifatnya itu dapat disimpulkan, bahwa maksud dan tujuan berlakunya Undang-Undang hak cipta adalah sebagai berikut:
  1. Menjamin hak eksklusif seorang pencipta guna mengendalikan penggunaan karyanya pada periode tertentu.
  2. Menjamin hak monopoli seorang penerbit guna menerbitkan dan menjual suatu karya dalam wilayah tertentu
  3. Menyediakan suatu kompensasi financial (royalty) sebagai imbalan kepada para pengarang atau pencipta atas karya kreatif mereka.
  4. Mendorong kemajuan seni dan ilmu pengetahuan di negeri yang bersangkutan dalam rangka menunjang perkembangan ekonomi, sosial, dan kebudayaannya.1

B.  Kepemilikan Hak Cipta
Pada hakikatnya yang berhak menjadi pemegang hak cipta adalah pencipta. Pihak yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal. Jika suatu ciptaan terdiri atas beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, maka yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh ciptaan itu. Namun jika tidak ada orang tersebut, maka yang dianggap sebagai pencipta adalah orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi hak cipta masing-masing atas bagian ciptaannya itu.

Sebagai pemegang (pemilik) hak cipta, tentu akan memiliki hak moral atas ciptaannya. Adapun dalam ketentuan hak moral dinyatakan:
  1. Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut pemegang hak cipta supaya nama pencipta tetap dicantumkan dalam ciptaannya.
  2. Suatu ciptaan tidak boleh diubah walaupun hak ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal pencipta telah meninggal dunia.
  3. Ketentuan tersebut berlaku juga terhadap perubahan judul dan anak judul ciptaan, pencantuman dan perubahan nama atau nama samaran pencipta.
  4. Pencipta telah berhak mengadakan perubahan pada ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat (pasal 24).
C.  Masa Berlakunya hak Cipta
Hak cipta atas ciptaan berikut ini berlakunya selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia.
  • Buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lainnya
  • Drama, atau drama musikal, tari, koreografi
  • Segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung
  • Seni batik
  • Lagu atau musik dengan atau tanpa teks
  • Arsitektur
  • Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lainnya
  • Alat peraga
  • Peta
  • Terjemahan, tafsir, saduran dan bunga rangkai (pasal 29).
Untuk ciptaan yang dimiliki oleh dua orang atau lebih, maka hak cipta berlaku selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.
Hak cipta atas ciptaan berikut ini masa berlaku adalah selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. Begitupula dengan hak cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan, maka masa berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan
  • Program komputer
  • Sinematografi
  • Fotografi
  • Database
  • Karya hasil pengalihwujudan

D.  Pendaftaran Ciptaan
Untuk mendapatkan perlindungan sebagai pemegang hak cipta, pencipta atau pihak lain yang menerima hak tersebut perlu mengajukan pendaftaran terlebih dahulu. Adapun ketentuan pendaftaran hak cipta adalah sebagai berikut:
  1. Direktorat Jenderal menyelenggarakan pendaftaran ciptaan dan dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan
  2. Daftar Umum Ciptaan tersebut dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya
  3. Setiap orang dapat memperoleh untuk dirinya sendiri suatu petika dari Daftar Umum Ciptaan tersebut    dengan dikenai biaya
  4. Ketentuan tentang pendaftaran tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta.

Pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan tidak mengandung arti sebagai pengesahan atas ciptaan yang didaftarkan. Dalam Daftar Umum Ciptaan memuat antara lain:
  1. Nama pencipta dan pemegang hak cipta
  2. Tanggal penerimaan surat permohonan
  3. Nomor pendaftaran ciptaan
  4. Tanggal lengkapnya persyaratan sebagaimana ketentuan berikut:
  • Pendaftaran ciptaan dalam Daftar Umum Ciptaan dilakukan atas permohonan yang diajukan oleh pencipta atau oleh penegang hak cipta atau kuasa
  • Permohonan diajukan kepada Direktorat Jenderal dengan surat rangkap 2 (dua) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan disertai contoh ciptaan atau penggantinya dengan dikenai biaya
  • Terhadap permohonan, Direktorat Jenderal akan memberikan keputusan paling lama 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan secara lengkap
  • Kuasa sebagaimana dimaksud adalah konsultan yang terdaftar pada Direktorat Jenderal
  • Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk dapat diangkat dan terdaftar sebagai konsultan diatur lebih lanjut dalam peraturan Pemerintah
E.  Pemberian Lisensi
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu. Adapun ketentuan mengenai pemberian lisensi adalah sebagai berikut:
  1. Pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk mendapatkan hak eksklusif
  2. Lingkup lisensi meliputi hak eksklusif yang bersifat komersial untuk mengumumkan atau memperbanyak selama jangka waktu lisensi diberikan
  3. Pelaksanaan pembuatan penerima hak eksklusif disertai dengan kewajiban pemberian royalti kepada pemegang hak cipta oleh penerima lisensi
  4. Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada pemegang hak cipta oleh penerima lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.

Referensi:
Suyud Margono, Hukum dan Perlindungan Hak Cipta, Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2002.

Merek (Trademarks)


Dengan mengacu pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, yang dimaksud merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Yang menjadi objek merek adalah karya-karya seseorang yang berupa tanda, baik tulisan dan/atau gambar yang diciptakan dengan tujuan untuk membedakan barang atau produk yang satu dengan yang lain tetapi sejenis. Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. 
A.    Macam-Macam Merek
Ditinjau dari segi objek usahanya, secara umum merek dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 
  1. Merek dagang, adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya. 
  2. Merek jasa, adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
Dari kedua merek tersebut dapat dipadukan menjadi merek kolektif, yaitu merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. 
B. Ruang Lingkup Merek
Merek dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan dengan beritikad baik. Pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen.

Merek tidak dapat didaftarkan apabila merek tersebut mengandung salahsatu unsur di bawah ini:
  • Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.
  • Tidak memiliki daya pembeda dengan merek lainnya
  • Telah menjadi milik umum
  • Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
  1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa yang sejenis.
  2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenisnya. Ketentuan ini juga dapat berlaku terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
  3.  Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal.
Penolakan permohonan merek ini juga dapat berlaku terhadap hal-hal sebagai berikut:
  1. Merupakan tiruan atau menyerupai nama orang terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.
  2. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
  3. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lemaga pemerintah, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
C. Syarat dan Tata Cara Permohonan
Merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpajang. Ketika mengajukan permohonan pendaftaran suatu merek, seseorang harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 
1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa indonesia kepada Direktorat Jenderal dengan  mencantumkan:
·         Tanggal, bulan, dan tahun
·         Nama lengkap, kewarganegaraan dan alamat pemohon
·         Nama legkap dan alamat kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa
·         Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya menggunakan unsur-unsur warna
·         Nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan  dengan hak prioritas.
2. Permohonan ditandatangani oleh pemohon atau melalui kuasanya  
3. Pemohon dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama, atau badan hukum 
4. Permohonan dilamiri dengan bukti pembayaran biaya 
5. Jika permohonan diajukan oleh lebih dari satu pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek tersebut, semua nama pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagaimana alamat mereka. 
6. Jika permohonan diajukan melalui kuasanya, surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas merek tersebut. Pihak yang dimaksud kuasa adalah Kosultan Hak Kekayaan Intelektual yang syarat-syarat pengangkatannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

D. Pengalihan Hak Atas merek dan Lisensi
Pengalihan hak atas merek terdaftar hanya dicatat oleh Direktorat Jenderal apabila disertai penyertaan tertulis dari penerima pengalihan bahwa merek tersebut akan digunakan bagi perdagangan barang dan/atau jasa. Hak atas merek yang terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena adanya: pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian, maupun sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
 Pemilik merek terdaftar berhak memberikan lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian bahwa penerima lisensi akan menggunakan merek tersebut sebagian atau seluruh jenis barang atau jasa.

Asuransi Syari’ah (Takaful)

Menurut fatwa tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah No. 21/DSN-MUI/X/2001, Asuransi Syari’ah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan/atau yang memberika pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu tabarru’ melalui akad yang sesuai dengan syari’ah.
 
Asuransi dalam islam sering dikenal dengan istilah takaful, yaitu saling memikul diantara sesama sehingga antara satu menjadi penanggung atas risiko yang lainnya. Untuk mendapatkan asuransi, setiap orang dikenakan premi, yaitu kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Setelah terdaftar sebagai peserta asuransi, maka seseorang akan memiliki klaim, yaitu hak yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

A. Dasar Hukum
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisa:9).

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya.” (QS. Al-Maidah:2).

“Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi kebutuhannya.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).

“Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan dimana sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syari’ah masih mendasarkan legalisasinya pada Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian yang sebenarnya kurang mengakomodasi asuransi syari’ah.1 Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan reasuransi syari’ah masih menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh DSN-MUI melalui fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi syari’ah. Namun dalam tata hukum nasional, fatwa tidak mempunyai kekuatan hukum yang bersifat mengikat. Karenanya agar bersifat mengikat, fatwa DSN-MUI ke depan perlu diadopsi ke dalam peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan asuransi syari’ah.

B. Jenis dan Mekanisme Asuransi Syari’ah

Pada prinsipnya, keberadaan perusahaan asuransi adalah sebagai lembaga keuangan yang menghipun dana dari masyarakat untuk memberikan perlindungan kepada pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak terduga. Secara umum, keberadaan perusahaan asuransi dapat dibedakan menjadi:

1. Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa)
adalah bentuk asuransi yang memberikan perlindungan dalam menghadapi musibah kematian dan kecelakaan atas diri peserta asuransi takaful.2 Pada takaful keluarga, ada tiga kemungkinan manfaat yang diterima oleh peserta, yaitu:
  • Apabila peserta meninggal dunia dalam masa pertanggungan (sebelum jatuh tempo), maka ahli warisnya akan menerima:   
  1. Pembayaran klaim sebesar jumlah angsuran premi yang telah disetorkan dalam rekening peserta    ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi.
  2. Sisa saldo angsuran premi yang seharusnya dilunasi dihitung dari tanggal meninggalnya sampai dengan saat selesai masa pertanggungannya. Dana untuk tujuan ini diambilkan dari rekening khusus atau tabarru’ para peserta yang memang disediakan untuk itu.
  • Apabila peserta masih hidup sampai pada selesainya masa pertanggungan, maka yang bersangkutan akan menerima:
  1. Seluruh angsuran premi yang telah disetorkan ke dalam rekening peserta, ditambah dengan bagian keuntungan dari hasil investasi.
  2. Kelebihan dari rekening khusus atau tabarru’ peserta terjadi apabila setelah dikurangi biaya operasional perusahaan.
  3. Peserta mengundurkan diri sebelum masa pertanggungan selesai. Dalam hal ini, peserta yang bersangkutan tetap akan menerima seluruh angsuran premi yang telah disetorkan ke rekening peserta, ditambah dengan bagian dari hasil investasi.
2. Takaful Umum (Asuransi Kerugian)
adalah bentuk asuransi syari’ah yang memberika perlindunngan  financial dalam menghadapai bencana atau kecelakaan atas harta benda milik peserta takaful. Klaim takaful akan dibayarka kepada peserta yang mengalami musibah hingga menimbulkan kerugian harta benda sesuai dengan perhitungan yang wajar. Baik pada takaful keluarga maupun takaful umum, keuntungan yang diperoleh dari hasil investasi dibagikan diantara perusahaan asuransi dengan peserta sesuai dengan prinsip mudharabah dengan porsi (nisba) yang telah disepakati sebelumnya.

C. Perbedaan Asuransi Syari’ah dengan Asuransi Konvensional
  1. Keberadaan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) dalam perusahaan asuransi syari’ah merupakan suatu keharusan, fungsinya mengawasi kegiatan usaha agar sesuai dengan prinsip syari’ah. Sedangkan dalam asuransi konvensional tidak ada pengawas dari Dewan Pengawas Syari’ah.
  2. Prinsip akad asuransi syari’ah adalah tolong menolong (takaful). Sedangkan akad asuransi konvensional berdasarkan akad pertukaran atau jual beli (tabaduli) antara nasabah dengan perusahaan.
  3. Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syari’ah (premi) diinvestasikan berdasarkan prinsip syari’ah dengan sistem bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
  4. Pada asuransi syari’ah, premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Dalam hal ini, perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi yang telah terkumpul dari nasabah secara otomatis menjadi milik perusahaan.
  5. Untuk pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekeninng tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong menolong jika ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam assurannsi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
  6. Keuntungan investasi pada asuransi syari’ah dibagi dengan prinsip bagi hasil antara nasabah selaku pemilik dana (shahibul maal) dengan perusahaan selaku pengelola (mudharib). Sedangkan keuntungan pada asuransi konvensional sepenuhnya menjadi milik perusahaan terutama jika tidak ada klaim.

Referensi:
Burhanuddin S., Hukum Bisnis Syari’ah, Yogyakarta: UII Press, 2011
[1] Gemala Dewi. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia, Jakarta: prenada Media, 2004, hlm. 128
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, “Prinsip Dasar Operasi Asuransi Takaful” dalam Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia, 1994, hlm. 148

Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

BAB 1

SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

A.    UU No. 14/1970 Yang Diganti Dengan UU No. 4/2004

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan. Dan semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

B.     UU No. 1 tahun 1974

Dalam Undang-Undang ini diatur mengenai dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai berikut:
  1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan material.
  2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
  3. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
  4. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
  5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang Pengadilan.
  6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.
C.    UU No. 14/1985 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 5/2004

Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Susunan Mahkamah Agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera, danseorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung dan hakim agung paling banyak 60 orang. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan beberapa orang ketua muda.Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang non-yudisial.Wakil ketua bidang yudisial membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, ketua muda militer, dan ketua muda tata usahanegara.Pada setiap pembidangan, Mahkamah Agung dapat melakukan pengkhususan bidang hukum tertentu yang diketuaioleh ketua muda.Wakil ketua bidang non-yudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketuamuda pengawasan. Masa jabatan Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung selama 5 (lima) tahun.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, di samping Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, ditentukan pula Mahkamah Agung mempunyai wewenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Undang-Undang ini memuat perubahan terhadap berbagai substansi Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Perubahan tersebut, di sampingguna disesuaikan dengan arah kebijakan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga didasarkan atas Undang-Undangmengenai kekuasaan kehakiman baru yang menggantikan Undang-UndangNomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakimansebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman.

Berbagai substansi perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain tentangpenegasan kedudukan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, serta beberapa substansi yang menyangkut hukum acara, khususnya dalam melaksanakan tugas dan kewenangan dalam memeriksa dan memutus pada tingkat kasasi serta dalam melakukan hak uji terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung. Pembatasan ini di samping dimaksudkan untuk mengurangi kecenderungan setiap perkara diajukan ke Mahkamah Agung sekaligus dimaksudkan untuk mendorong peningkatan kualitasputusan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding sesuai dengannilai-nilai hukum dan keadilan dalam masyarakat.

Dengan bertambahnya ruang lingkup tugas dan tanggung jawab Mahkamah Agungantara lain di bidang pengaturan dan pengurusan masalah organisasi, administrasi,dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, maka organisasiMahkamah Agung perlu dilakukan pula penyesuaian. 
D. UU No. 7/1989 Yang Telah Diganti Dengan UU No. 3/2006

Dalam Undang-Undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Dalam kaitannya dengan perubahan Undang-Undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan: "Para Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan", dinyatakan dihapus.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskanadanya pengadilan khusus yang dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan dengan undang-undang. Oleh karena itu, keberadaan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama perlu diatur pula dalam Undang-Undang ini.

Penggantian dan perubahan Undang-Undang tersebut secara tegas telah mengatur pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari semua lingkungan peradilan ke Mahkamah Agung. Dengan demikian, organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di lingkungan Peradilan Agama yang sebelumnya masih berada di bawah Departemen Agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perlu disesuaikan. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengalihan ke Mahkamah Agung telah dilakukan. Untuk memenuhi ketentuan dimaksud perlu pula diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari'ah. Dengan penegasan kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tertentu tersebut, termasuk pelanggaran atas Undang-Undang tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta memperkuat landasan hukum Mahkamah Syar'iyah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan ganun.

Pengadilan agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.

E. PP No. 9 Tahun 1975
Peraturan Pemerintah ini memuat ketentuan-ketentuan tentang masalah pencatatan perkawinan,tatacara pelaksanaan perkawinan, tatacara perceraian, cara mengajukan gugatan perceraian, tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan, pembatalan perkawinan dan ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang dan sebagainya.

Karena untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah ini diperlukan langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk petunjuk pelaksanaan dari berbagai Departemen atau Instansi yang bersangkutan, khususnya dari Departemen Agama, Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri, sehingga segala sesuatu dapat berjalan tertib dan lancar, maka perlu ditetapkan jangka waktu enam bulan sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini untuk mengadakan langkah-langkah persiapan tersebut.

F. HIR, Rbg, dan RV

HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)

Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkaraperdata dan penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia danbangsa Timur Asing di Jawa dan Madura.

Dalam Reglemen Indonesia yang Diperbarui (RIB) ini hanya dimuat hal-hal yang berkaitan dengan perkara perdata, hal-hal yang menyangkut perkara pidana diatur dengan Kitab Undang-undang HukumAcara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.

Dalam reglemen ini memuat:

1. Hal melakukan tugas kepolisian, yang meliputi kepala desa dan semua bawahan polisi yang Lain

2. Hal mengadili perkara perdatayang termasuk wewenang pengadilan negeri.

RBG (Rechtsreglement Buitengewesten)


Reglemen Untuk Daerah Seberang berlaku untuk daerah luar Jawa dan Madura. Dalam reglemen ini memuat:
  1. Cara mengadili perkara perdata yang dalam tingkat pertama menjadi wewenang pengadilan Negeri yang  meliputi:
  • Pemeriksaan di Sidang pengadilan
  • Musyawarah dan Keputusan pengadilan
  • Banding.
  • Pelaksanaan keputusan hukum
  • Beberapa acara khusus
  • Izin berperkara tanpa biaya
    2. Bukti dalam perkara perdata

RV (Reglement of de Rechtsvordering)

RV adalah hukum perdata eropa yang dibawa oleh belanda ke Indonesia. Tapi ternyata tidak cocok dengan Indonesia, oleh karena itu kemudian diadakan penyesuaian-penyesuaian dan dibentuklah HIR. Kemudian setelah beberapa lama, terjadi ketidak sesuaian dengan daerah luar Jawa dan Madura, maka dibentuklah RBg.

                                                                       BAB II
                                                    HUBUNGAN HUKUM ACARA
                                  PERADILAN AGAMA DENGAN HUKUM ACARA PERDATA

A.    Pengertian Hukum Acara Perdata

Sebelum membicarakan pengertian Hukum Acara Peradilan Agama, perlu diketahui bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999  serta dengan melihat UU No. 5 th.2004.

Tugas utama Peradilan Agama ialah menerima, memeriksa, mengadili dan memutus serta menyelesaikan perkara perdata tertentu antara orang-orang yang beragama Islam. (Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo pasal 49 & 50 UU No. 4 Th. 2006).

Untuk mengetahui hukum acara Peradilan Agama, terlebih dahulu kita harus mengetahui pengertian hukum acara perdata karena Peradilan Agama hanya berwenang memeriksa perkara-perkara perdata dan menurut ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiel dengan perantaraan Hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiel. Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya memajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata ialah rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan hukum perdata.

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantara hakim. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata yang mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan dari pada putusanya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperolah perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri.

Dari dua pengertian tersebut di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian bahwa hukum acara Peradilan Agama ialah pertaturan hukum yang mengatur tentang bagaimana mentaati dan melaksanakan hukum perdata materiel dengan perantaraan Pengadilan Agama termasuk bagaimana cara bertindak mengajukan tuntutan hak atau permohonan dan bagaimana cara Hakim bertindak agar hukum perdata materiel yang menjadi kewenangan Peradilan Agama berjalan sebagaimana mestinya.

B. Hubungan Peradilan Agama Dengan Hukum Perdata


Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara Peradilan Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku sebagian besar adalah sama.

                                                                        
                                                                        BAB III

                                                                       PENUTUP


A.    Kesimpulan

Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Peradilan Agama telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar Sejarah Peradilan, Peradilan Agama telah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul “Seabad Peradilan Agama di Indonesia”, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl.1882-152, tentang Peradilan Agama di Pulau Jawa – Madura.

Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang susunan, kekuasaan dan acara, melainkan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan, dan tidak pula seragam.

Namun kini Peradilan Agama telah mempunyai UU tersendiri, yaitu UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupakan rangkaian dari undang-undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan Peradilan di negara RI. Selain itu, UU tersebut melengkapi UU Mahkamag Agung No. 14 Tahun 1985, UU Peadilan Umum No. 2 Tahun 1986 dan UU Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986. Dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Pengadilan Agama setara dengan Lembaga Pengadilan lainnya.

Daftar Pustaka:
  • Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia.
  • Prof. Drs. H. Abdul Manan, S.H., SIP.M.Hum., Penerapan Hukum Acara Perdata di       Lingkungan Peradilan Agama.
  • A. Mukti Arto, H. Drs., SH. Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
  • Departemen Agama, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam, 2001.
  • Mahkamah Agung RI., Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II Edisi Revisi, 1997.
  • Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989.
  • Yahya Harahap, M., SH. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, 1990.

Penyelesaian Sengketa Syariah Dalam Bisnis

A. Perdamaian (Sulhu)
Langkah pertama yang perlu diupayakan ketika hendak menyelesaiakan perselisihan di bidang bisnis, ialah melalui jalan damai. Untuk mencapai hakikat perdamaian, prinsip utama yang perlu dikedepan kan adalah kesadaran para pihak untuk kembali kepada Allah SWT ( Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah) dalam menyelesaikan segala persoalan. Sebab yang demikian itu merupakan sebaik-baiknya akibat yang akan ditimbulkan. (QS. An-Nisa:59)

Upaya damai dalam fiqh dikenal dengan istilah sulhu, yaitu suatu akad untuk memutuskan persoalan antara dua pihak yang berselisih. Upaya damai tersebut biasanya ditempuh melalui musyawarah (syuura) untuk mencapai mufakat diantara para pihak yang berselisih (QS. Asy-Syuura:38). Dengan musyawarah yang mengedepankan prinsip-prinsip syariat, diharapkan apa yang menjadi persoalan para pihak dapat diselesaikan.
 
1. Dasar Hukum
Perdamaian itu lebih baik bagi mereka (QS. An-Nisa:128). Dan jika ada dua golongan dan orang-orang yang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali kepada perintah Allah, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah sesungguhnya Allah Menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Hujurat:9). Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara saudaramu dan bertakwalah kepad Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Hujurat:10).

Disamping disyariatkan di dalam Al-Qur’an, upaya menyelesaikan perselisihan sengketa muamalah secara damai juga ditegaskan dalam hadits Nabi:

“perjanjian (damai) diantara orang-orang muslim itu boleh, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal (HR. Tirmidzi).

B.   Arbitrase Syariah (Tahkim)
Untuk menyelesaikan perkara atau perselisihan secara damai dalam hal keperdataan, selain dapat dicapai melalui inisiatif sendiri dari para pihak, juga dapat dicapai melalui keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit (mediator). Upaya ini biasanya akan ditempuh apabila para pihak yang berperkara itu sendiri ternyata tidak mampu mencapai kesepakatan damai. Pengangkatan pihak ketiga sebagai mediator dapat dilakukan secara formal maupun nonformal. Institusi formal yang khusus dibentuk untuk menangani perselisihan atau sengketa disebut arbitrase, yaitu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yanng dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dalam hukum syariah, istilah arbitrase lebih dikenal dalam sebutan tahkim. Istilah tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama” yang secara harfiah berarti mengangkat (seseorang) menjadi wasit. Sedangkan secara terminologi, tahkim dapat diartikan sebagai penganngkatan seseorang menjadi wasit dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa. Dengan kata lain, pengertian tahkim ialah tempat bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian para pihak yang bersengketa. Karena tahkim merupakan aktivitas penunjukan wasit, maka orang yang ditunjuk itu disebut hakam.

1. Dasar Hukum
Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seseorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan (islah) niscaya Allah akan memberikan taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha pengenal (QS. An-Nisa:35).Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh manusia memberi sedekah atau berbuat ma’ruf atau mengadakan perdamaian antara sesama manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan, maka Allah kelak akan memberi kepadanya pahala yang besar. (QS. An-Nisa:114). Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak adil dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.dan perdamaian itu menurut tabiatnya adalah kikir. Dan jika kamu menggauli dirimu dan nusyuz dan sikap tak acuh, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa: 128).

Penyelesaian sengketa secara arbitrase sudah berlaku sejak permulaan islam. Sebelum Nabi Muhammad menerima tugas kerasulan, beliau pernah bertindak sebagai hakam ketika terjadi perselisihan di antara suku Quraisy tentang perkara perebutan hak meletakkan batu hajar aswat di tempat semula. Upaya Nabi untuk menyelesaikan perselisihan tersebut mendapat kepercayaan dan diterima secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa pada waktu itu. Tindakan Nabi Muhammad untuk menyelesaikan perkara secara damai merupakan bagian dari tahkim.

2. Pembentukan Badan Arbitrase Syariah di Indonesia

Pembentukan Lembaga Arbitrase Syariah di Indonesia diawali oleh adanya pertemuan dari kalangan ulama dan tokoh cendikiawan Muslim Indonesia.pertemuan ini dimotori oleh Dewan Pimpinan Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 22 april 1992. Sebagai tindak lanjut pada tanggal 2 mei 1992 diadakan pertemuan lanjutan dengan peserta yang sama ditambah tiga utusan dari Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dalam rapat lanjutan ini berhasil membentuk tim yang bertugas mempelajari dan mempersiapkan bahan-bahan bagi kemungkinan berdirinya Lembaga Arbitrase Syariah. Realisasi keputusan ini adalah dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Dewan Pimpinan MUI No. 392/MUI/V/1992 tanggal 4 mei 1992 tentang kelompok Kerja Pembentukan Badan Arbitrase Hukum Islam. Kelompok kerja tersebut kemudian bertugas untuk menyelesaikan:
  1. Rancangan anggaran dasar
  2. Rancangan anggaran rumah tangga
  3. Struktur organisasi
  4. Prosedur berperkara
  5. Rancangan biaya perkara
  6. Kriteria arbiter
  7. Inventarisasi calon arbiter
Dalam rapat kerja MUI se-Indonesia pada tanggal 24-27 november 1992, rencana pembentukan arbitrase syariah ditempatkan sebagai agenda utama. Setelah diadakan penyempurnaan terhadap rancangan yang ada, dewan pimpinan MUI menerbitkan SK baru tentang panitia persiapan dan peresmian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Berkat rahmat Allah dan usaha maksimal berbagai pihak, akhirnya tanggal 21 oktober 1993 Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) secara resmi didirikan.

Pendirian BAMUI sangat diharapkan oleh umat islam di indonesia dan umat lainnya yang turut merasakan kemaslahatannya. Hal ini bukan saja dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan pengembangan ekonomi islami dan bisnis syariah, tetepi juga untuk mengamalkan hukum syariah dalam segala aspek kehidupan. Kemudian berdasarkan keputusan Rapat Dewan Pimpinan Majlis Ulama Indonesia No: Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 desember 2003 nama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) di ubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang kedudukannya tetap berada dibawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Perubahan ini tentu diikuti perubahan istilah pada prosedur yyang telah berlaku.

Kehadiran Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) sangat diharapkan oleh umat Islam Indonesia, bukan saja karena dilatarbelakangi oleh kesadaran dan kepentingan umat untuk melaksanakan syariat Islam, melainkan juga lebih dari itu adalah menjadi kebutuhan riil sejalan dengan perkembangan kehidupan ekonomi umat. Karena itu, tujuan didirikan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) adalah sebagai badan permanen dan independen yang berfungsi menyelesaikan sengketa berdasarkan prinsip-prinsip di bidang muamalah.

C.   Lembaga Peradilan Syariah (Qadha)
Dengan disahkannya UU No. 3/2006 tentang perubahan UU No.7/1989 tentang peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga peradilan agama saat ini. Salah satu perubahan mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam bidang:
  1. Perkawinan
  2. Waris
  3. Wasiat
  4. Hibah
  5. Wakaf
  6. Zakat
  7. Infak
  8. Shadaqah
  9. Ekonomi syariah
Lembaga Peradilan Syariah (Qadha) secara harfiah  berarti memutuskan atau menetapkan. Sedangkan secara terminologi, istilah Qadha dapat diartikan sebagai lembaga/Institusi peradilan yang bertugas untuk menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat.

1. Dasar Hukum

Kewenangan membentuk dan menyelenggarakan lembaga peradilan merupakan hak pemerintah. Dalam pandangan islam, penyelenggara peradilan merupakan tugas dan kewajiban yang mulia. Karena penyelenggara peradilan merupakan instrumen untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi untuk tujuan kemaslahatan manusia, baik kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang dapat dijadikan sebagai dasar hukum penyelesaian sengketa berdasarkan prinsip-prinsip syariah misalnya dalam QS. Ali Imran : 23, “Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian yaitu Al-Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah supaya dengan kitab itu menetapkan hukum diantara mereka, kemudian sebahagian dari mereka berpaling, dan nereka selalu membelakangi (kebenaran).” Dalam QS. Al-Maidah : 47, “dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.

Dan masih banyak surat dan ayat lain yang mengandung dasar hukum ini.

2. Macam-Macam Qadhi
Pemerintah wajib membentuk kekuasaan kehakiman melalui pengengkatan para hakim (Qadhi) untuk menegakkan suatu hukum ditengah masyarakat. Ruang lingkup (wilayah) Al-qadha dibagi menjadi:
  1. sengketa (Khusumat) yang terjadi di masyarakat umum, baik dalam perkara muamalat maupun ‘uqubat.
  2. Qadhi Hisbah, adalah aparat penegak hukum (hakim) yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya
  3. Qadhi Madzalim, adalah hakim yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengeketa yang terjadi antara rakyat dengan penguasa yang dzalim.

Referensi:

Burhanuddin S, Hukum Bisnis Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2011