Sejarah Pemikiran Ekonomi dalam Islam
Kontribusi kaum
muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran
ekonomi pada khususnya dan pradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh
para ilmuwan Barat. Buku-buku teks ekonomi Barat hampir tidak pernah
menyebutkan peranan kaum mislimin. Menurut Chapra, meskipun sebagian kesalahan
terletak di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan secara memadai kontribusi
kaum Muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal ini, karena tidak
memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan
pengetahuan manusia.
Para sejarawan
barat telah menulis sejarah ekonomi dalam sebuah asumsi bahwa periode antara
Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif. Sebagai contoh,
sejarawan sekaligus ekonom terkemuka, Joseph Schumpeter, sama sekali
mengabaikan peranan kaum Muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari
para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun,
dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M).
Adalah hal yang
sangat sulit dipahami mengapa para ilmuan Barat tidak menyadari bahwa sejarah
pengetahuan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, yang dibangun di atas
fondasi yang diletakkan para ilmuwan generasi sebelumnya. Jika proses evolusi
ini didasari dengan sepenuhnya, menurut Chapra, Schumpeter mungkin tidak
mengasumsikan adanya kesenjangan yang besar selama 500 tahun, tetapi mencoba
menemukan fondasi di atas mana para ilmuwan Skolastik dan Barat mendirikan
bangunan intelektual mereka.
Sebaliknya,
meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum Muslimin tidak lupa
mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India, dan China. Hal
ini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendikiawan Muslim masa lalu
terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Sejalan dengan
ajaran Islam tenteng pemberdayaan akal pikiran dengan tetap berpegang teguh
pada Al-Qur’an dan Hadits nabi, konsep dan teori ekonomi dalam Islam pada
hakikatnya merupakan respon para cendikiawan Muslim terhadap berbagai tantangan
ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa pemikiran ekonomi
Islam seusia Islam itu sendiri.
Berbagai praktik
dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah Saw. dan al-Khulafa
al-Rasyidun merupakan contoh empiris yang dijadikan pijakan bagi para
cendikiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal yang
jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, dan kebebasan,
yang tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi
Islam sejak masa awal.
Berkenaan dengan
hal tersebut, Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam tiga
fase, yaitu: fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi,
sebagai berikut:
Fase
Pertama
Fase
pertama merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyah atau abad
ke-11 Masehi yang dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis
oleh para fukaha, diikuti oleh sufi dan kemudian oleh filosof. Pada awalnya,
pemikiran mereka berasal dari orang yang berbeda, kemudian dikemudian hari,
para ahli harus mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut. Fokus
fiqih adalah apa yang diturunkan oleh syariah dan, dalam konteks ini, para
fukaha mendiskusikan fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbaaas pada
penggambaran dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu pada
Al-qur’an dan Hadits nabi, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan
mafsadah (disutility) yang terkait dengan ktivitas ekonomi. Pemikiran yang
timbul terfokus pada apa manaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila
melaksanakan sesuatuyang dilarang agama. Pemaparan ekonomi para fukaha tersebut
mayoritas bersifat normatif dengan wawasan positif ketika berbicara tentang
perilaku yang adil, kebijakan yang baik, dan batasan-batasan yang diperbolehkan
dalam kaitannya dengan permasalahan dunia.
Sedangkan
kontribusi utama tasawuf terhadap pemikiran ekkonomi adalah pada keajegannya
dalam mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, tidak rakus dalam
memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah Swt., dan secara tetap menolak
penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi. Sementara itu, filosof
Muslim, dengan tetap berasaskan syariah dalam keseluruhan pemikirannya, mengikuti
para pedahulunya dari Yunani, terutama Aristoteles (322-367 SM), yang fokus
pembahasannya tertuju pada sa’adah (kebahagiaan) dalam arti luas. Pendekatannya
global dan rasional serta metodologinya syarat dengan analisis ekonomi positif
dan cenderung makro ekonomi. Hal ini berbeda dengan para fukaha yang terfokus
perhatiannya pada masalah-masalah mikro ekonomi.
Fase
Kedua
Fase Fase kedua yang dimulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi dikenal
sebagai fase yang cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat
kaya. Para cendikiawan Muslim pada masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang
bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya yang berlandaskan
Al-Qur’an dan Hadits nabi. Pada saat yang bersamaan, di sisi lain, mereka
menghadapai realitas politik yang ditandai oleh dua hal: pertama, disintegrasi
pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dan terbaginya kerajaan kedalam beberapa
kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan (power) ketimbang
kehendak rakyat; kedua, merebaknya korupsi dikalangan para penguasa diiringi
dengan dekadensi moral dikalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya
ketimpangan yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin. Pada masa ini,
wilayah kekuasaan Islamyang terbentang dari Maroko dan Spanyol di Barat hingga
India di Timur telah melahirkan berbagai pusat kegiatan intelektual.
Fase
Ketiga
Fase
ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi merupakan fase
tertutupnya pintu ijtihad (independent judgement) yang mengakibatkan fase ini
dikenal juga sebagai fase stagnasi. Pada fase ini, para fukaha hanya menulis
catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan
aturan standar bagi masing-masing madzhab. Namun demikian, terdapat sebuah
gerakan pembaharu selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada
Al-Qur’an dan Hadits nabi sebagai sumber pedoman hidup.
Referensi:
- Baqir al-Hasani dan Abbas Makhor (ed.), Essays on Iqtisad: The Islamic Approach to Economic Problems, USA: Nur Corporation, 1989.
- Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali, Readings In Islamic Economic Thought, Selangor Darul Ehsan: Longman Malaysia,1992.
ReplyDeleteHalo
Ny. Rebecca Ellisor kembali ke sini dan memberikan pinjaman peluang seumur hidup kepada individu, perusahaan bisnis, asuransi, dll. Apakah Anda memerlukan pinjaman mendesak untuk melunasi utang Anda atau apakah Anda memerlukan pinjaman modal untuk meningkatkan bisnis Anda? Apakah Anda ditolak oleh bank dan lembaga keuangan lainnya? Apakah Anda membutuhkan konsolidasi atau pinjaman hipotek?
Kami di sini untuk memberikan semua kesulitan keuangan Anda, kami meminjam dana kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan keuangan, yang memiliki kredit macet atau membutuhkan uang untuk melunasi utang, dan berinvestasi dalam bisnis dengan suku bunga rendah 2%. Saya ingin menggunakan media hebat ini untuk memberi tahu Anda bahwa kami siap membantu Anda dengan segala jenis pinjaman untuk menyelesaikan masalah keuangan Anda.Jika ya, kembalilah sekarang melalui
Kirimi kami email sekarang melalui; (choosenloanfirms@gmail.com) untuk mendaftar.