Pegadaian Syari’ah
Dalam fiqh muamalah, perjanjian gadai disebut rahn. Istilah rahn secara bahasa berarti “menahan”. Maksudnya adalah menahan sesuatu untuk dijadikan sebagai jaminan utang.1 Sedangkan pengertian gadai menurut hukum syara’ adalah:
“Menjadikan sesuatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan utang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian utang dari barang tersebut.2
A. Dasar Hukum
Tidak semua orang memiliki kepercayaan untuk memberikan pinjaman atau utang kepada pihak lain. Untuk membangun suatu kepercayaan, maka diperlukan adanya suatu jaminan (gadai) yang dapat dijadikan pegangan. Dalil-dalil hukum disyariatkannya gadai sebagai jaminan utang adalah QS. Al-Baqarah ayat 283 yang artinya sebagai berikut:
“Jika kalian dalam perjalanan (bermuamalah tidak secara tunai), sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh orang yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.” (QS. Al-Baqarah:283)
Agar gadai tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, maka diperlukan adanya petunjuk (fatwa) dari institusi yang berwenang. Terkait dengan gadai, fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan adalah:
- Fatwa DSN-MUI No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
- Fatwa DSN-MUI No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas
- Fatwa DSN-MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah
- Fatwa DSN-MUI No.10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah
- Fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VII/2004 tentang Ganti Rugi
Pada prinsipnya, gadai merupakan akad yang bersifat tabi’iyah karena pelaksanaan perjanjiannya tergantung dari berlakunya akad lain yang dijalankan secara tidak tunai. Akad tabi’iyah adalah akad yang tidak berdiri sendiri dan berlakunya bergantung pada akad lain. Untuk mencapai keabsahan, adapun rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam perjanjian gadai adalah:
- Aqidain terdiri dari pihak yang menggadaikan (rahin) dan penerima gadai (murtahin). Agar keabsahan akad dapat tercapai, maka masing-masing pihak harus memenuhi syarat sebagai subjek hukum.
- Objek rahn ialah barang yang digadaikan (marhun). Keberadaan marhun berfungsi sebagai jaminan mendapatkan pinjaman atau utang (marhunbih). Para fuqaha berpendapat, bahwa setiap harta benda (al-mal) yang sah diperjualbelikan, berarti sah pula dijadikan sebagai jaminan hutang (marhun).
- Adanya kesepakatan ijab qabul (shigatakad). Lafadz ijab qabul dapat saja dilakukan baik secara tertulis maupun lisan, yang penting didalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai. Para fuqaha sepakat, bahwa perjanjian gadai mulai berlaku sempurna ketika barang yang digadaikan secara hukum telah berada ditangan pihak berpiutang.
C. Hak dan Kewajiban Pihak yang Berakad
1.Hak penerima gadai (murtahin)
- Penerima gadai mendapatkan biaya administrasi yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan harta benda gadai
- Murtahin mempunyai hak menahan marhun sampai semua utang dilunasi
- Penerima gadai berhak menjual marhun apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajiban. Hasil penjualan diambil sebagian untuk melunasi marhunbih dan sisanya dikembalikan kepada rahin
- Murtahin bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harga marhun bila itu disebabkan oleh kelalaian.
- Murtahin tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya
- Murtahin berkewajiban memberi informasi kepada rahin sebelum mengadakan pelelangan harta benda gadai.
- Rahin berhak mendapatkan pembiayaan dan/jasa penitipan
- Rahin berhak menerima kembali harta benda yang digadaikan sesudah melunasi utangnya
- Rahin berhak menuntut ganti rugi atas kerusakan dan/atau hilangnya harta benda yang digadaikan
- Rahin berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya lainnya.
- Rahin berhak meminta kembali harta benda gadai jka diketahui adanya penyalahgunaan
- Rahin berkewajiban melunasi marhunbih yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang disepakati
- Pemeliharaan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin. Namun jika dilakukan oleh murtahin, maka biaya pemeliharaan tetap menjadi kewajiban rahin. Besar biaya pemeliharaan tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman
- Rahin berkewajiban merelakan penjualan marhun bila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan ternyata tidak mampu melunasi pinjamannya
Referensi:
[1]Burhanuddin. S., Fiqh Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam, yogyakarta: The Syariah Institute, 2009
[2]Sayyid Sabiq, Al-Fiqh As-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1995
0 comments:
Post a Comment